Limited Person: Temanku Si Pegiat Literasi


Setiap orang yang kutemui di dunia ini adalah limited edition, nggak ada yang ngembarin, the one and only. Layaknya dosen di perkuliahan, mereka yang hadir di hidupku memberi mata kuliah yang berbeda-beda. Misal, dari bertemu si A, aku belajar buat sabar. Dari bertemu Si B, aku belajar mengelola keuangan. Kemudian,  dari bertemu Si C, aku belajar cara menghargai orang. 
 
Yah, tiap ketemu orang pasti ada saja kisahnya. Dari pengalaman ini, aku membagi orang yang kutemui jadi dua kategori Pembimbing atau Penguji.
 
Si Pembimbing, ialah orang yang bikin kita jadi lebih baik. Di mana tindak tanduknya bikin kita terinspirasi buat jadi pribadi yang makin oke, sedangkan Si Penguji adalah dia yang menguji hal-hal yang sudah kita pelajari dari Si Pembimbing. 
 
Entah bikin bahagia atau sedih, keduanya sama-sama membuat kita jadi lebih baik.
 
Di edisi pertama ini, aku akan bercerita tentang temanku Si Pegiat Literasi.  
 

Limited Person: Temanku Si Pegiat Literasi

 
 
 
Lelaki paruh baya (tapi bohong, aslinya baru dua puluhan) berkacamata dengan jargon narsisnya, Si Tampan dan Rupawan, kukenal pertama kali saat terjun ke medan perang (baca: dunia kerja) tahun 2018 silam. Sejujurnya, aku tidak ingat persis bagaimana suasana bertemunya, memang biasa aja. Dia kuketahui  sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Panggil saja dia Pak Ahmad.

Darinya aku belajar beberapa hal penting, terutama tentang kekonsistenannya dalam menggiatkan literasi di sekolah. Entah apa motivasinya, mungkin saja itu bagian dari misi sebagai guru Bahasa Indonesia. Meskipun sebetulnya menggiatkan literasi bukan hanya tugas guru Bahasa Indonesia saja. Akan tetapi, dia konsisten dengan usahanya menumbuhkan cinta membaca kepada siswa. Dan ya, tidak semua guru Bahasa Indonesia yang kukenal seperti dia. Tentu saja, setiap guru punya versi berbeda-beda.

1. Dia dan Kutipan Najwa Shihab 

 Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu. Mari Jatuh Cinta. -Najwa Shihab

Kutipan dari Mba Nana memang bisa kita baca di mana saja. Terlebih lagi, kutipan itu sangat populer. Kepopuleran ini makin akrab di telingaku sejak Pak Ahmad  menyampaikannya dalam kegiatan upacara bendera. Rasanya, lebih dari satu kali dia menyampaikan dalam pembinaan siswa. Kalau dihitung, mungkin jari tanganku tak mencukupi. Belum lagi, di status atau pun poster "Gerakan Literasi Sekolah" yang dia buat. Nampaknya yang membuat dia jatuh cinta dengan membaca bukanlah buku, melainkan kutipan Mbak Nana. 

2. Paket Buku 

Setiap bulan, setidaknya ada satu atau dua paket buku yang singgah di atas meja kerja Pak Ahmad. Jumlah buku yang dia beli secara daring cukup banyak. Hal itu membuatku penasaran, berapa banyak dana yang dianggarkan untuk membeli buku setiap bulannya? 
 
Saat kutanya tentang hal itu, dia menjawab dalam kisaran ratusan ribu. Jumlah ini cukup fantastis bagiku yang saat itu masih berstatus sebagai guru honorer dan kesulitan mengatur keuangan. Meski setelah itu dia menambahkan bahwa apa yang dia lakukan ini seperti balas dendam. Balas dendam karena dulu semasa kuliah, buat beli satu buku saja merasa kesulitan. 
 
Yah, apapun motivasinya. Entah balas dendam atau apa, aku cuma ingin bilang semangat dan terima kasih. Berkat bapak, saya bisa baca banyak macam buku. Yaa... jenis buku yang dibeli bervariasi, tetapi yang paling sering adalah jenis buku diskon. Hehe. 
 
Semangat, ditunggu koleksi barunya. 

3. Pojok Baca

Sebagai sekolah baru, tempat kami bekerja kala itu belum memiliki perpustakaan. Di saat itulah, Pak Ahmad memanfaatkan buku-buku yang miliknya untuk dijadikan pojok baca. Waktu itu letaknya di bagian pojok kantor guru. 
 
Meski jumlah buku masih terbatas, tetapi banyak siswa yang antusias membaca. Hal itu membuat beberapa guru tergerak untuk meminjamkan buku di pojok baca, termasuk aku. Setidaknya, dibanding disimpan dalam lemari kamar, diletakkan di pojok baca lebih memberikan banyak manfaat. 
 
Beberapa waktu berlalu, akhirnya sekolah kami memiliki perpustakaan. Akan tetapi, dia masih setia meminjamkan koleksi buku kepada siswa. Setidaknya ada puluhan buku yang disiapkan di atas meja kerja dan rak dindingnya. 
 
Bukan hanya siswa saja yang bisa meminjam, tetapi kadang aku juga meminjam. Kapan lagi bisa baca buku gratis?
 
"Yang penting jangan lupa mencatat di buku biru, ya!" begitu pesannya. 

4. Ajak Bersajak

Punya peran sebagai guru Bahasa Indonesia kelas IX, Pak Ahmad memiliki jalan yang cukup lebar untuk mengajak siswa berlatih menulis lewat antologi puisi Ajak Bersajak. Dikuti dari kata pengantar yang ditulis, Ajak Bersajak merupakan wadah yang menampung kreativitas menuju keabadian waktu. Selain itu, jga dapat mengasah ketrampilan menulis, khususnya menulis sajak. Mereka terus merajut kata menjadi sebuah mahakarya, dengan balutan metafora yang memesona.
 
Berhiaskan sampul yang dirancang oleh siswa, antologi itu telah hadir dalam dua edisi, yaitu Ajak Bersajak 1 dan Ajak Bersajak 2. Hal itu selaras dengan cita-citanya untuk melahirkan antologi Ajak Bersajak setiap tahun.
 
Aku pernah memimpikan hal serupa, membukukan karya-karya siswa. Akan tetapi, belum terlaksana karena minim aksinya. Haha. Oleh karena itu, melihat laki-laki ini berhasil melakukannya, aku ikut senang melihatnya. Semoga tahun ini Ajak Bersajak 3 dapat hadir di tangan dengan karya yang lebih memikat. 

5. Teman Diskusi

Jauh sebelum bertemu dengan Pak Ahmad, aku pernah bermimpi memiliki teman guru Bahasa Indonesia untuk kujadikan teman diskusi yang bisa memberikan umpan balik karyaku. Ya, semacam mentor gitu lah.  Hal itu dikarenakan ada kejenuhan yang kurasakan ketika menulis tapi tidak ada kemajuan. Pada saat itulah, kebutuhanku akan kritik dan saran dari orang lain sangat tinggi. Lebih lagi, aku tidak tergabung dalam komunitas menulis. 

Kenapa nggak gabung? Karena takut. haha. Pengin makin maju memang iya. kan tetapi, di sisi lain aku takut karyaku ditertawakan. 

September 2019, pertama kali aku menunjukan sebuah puisi padanya yang berjudul "Pagi Bersamamu". Rencananya puisi itu akan kuikutkan lomba. Gelisahnya bukan main ketika akan menunjukkan puisi itu. Aku takut tanggapannya tidak baik. Aku takut mengganggu waktunya. Dan masih banyak ketakutan lain. Akan tetapi, kegelisahan itu sirna karena dia bersedia memberikan beberapa perbaikan untuk puisi itu. Dapat dilihat pada gambar berikut. 


Sejak hari itu, semangat menulisku yang hampir padam, perlahan mulai membara kembali. Terlebih lagi, kadang kala laki-laki itu juga mengikuti kegiatan lomba. Hal itu makin memotivasiku untuk mengikuti berbagai kompetisi.  Kalau pun belum menang, paling tidak bisa saling pamer sertifikat sebagai peserta ataupun puisinya dibukukan. Wkwkwk canda. 

Semoga Bapak Pegiat Literasi ini makin rajin menulis di tengah kesibukannya sebagai Hokage di Konoha. 

Semoga tetap konsisten dengan dunia literasinya dan cita-cita membuat perpustakaan pribadi dapat tercapai dengan maksimal.

Salam literasi!

Sampai jumpa di seri Limited Person berikutnya! Kira-kita bakal menceritakan siapa ya? Hmmm....


 

0 komentar